TEORI KOMUNIKASI - Cultivation Theory

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Gagasan tentang cultivation theory atau teori kultivasi untuk pertama kalinya dikemukakan oleh George Gerbner bersama dengan rekan-rekannya di Annenberg School of Communication di Universitas Pannsylvania tahun 1969 dalam sebuah artikel berjudul the televition World of Violence. Artikel tersebut merupakan tulisan dalam buku bertajuk Mass Media and Violence yang disunting D. Lange, R. Baker dan S. Ball (eds).
Awalnya, Gerbner melakukan penelitian tentang “Indikator Budaya” dipertengahan tahun 60-an untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Dengan kata lain, Gerbner ingin mengetahui dunia nyata seperti apa yang dibayangkan, dipersepsikan oleh penonton televisi itu? Itu juga bisa dikatakan bahwa penelitian kultivasi yang dilakukannya lebih menekankan pada “dampak” (Nurudin, 2004: 157). Menurut Wood (2000) kata ‘cultivation’ sendiri merujuk pada proses kumulatif dimana televisi menamkan suatu keyakinan tentang realitas sosial kepada khalayaknya.
Teori kultivasi muncul dalam situasi ketika terjadi perdebatan antara kelompok ilmuwan komunikasi yang meyakini efek sangat kuat media massa (powerfull effects model) dengan kelompok yang mempercayai keterbatasan efek media (limited effects model), dan juga perdebatan antara kelompok yang menganggap efek media massa bersifat langsung dengan kelompok efek media massa bersifat tidak langsung atau kumulatif. Teori kultivasi muncul untuk meneguhkan keyakinan orang, bahwa efek media massa lebih besifat kumulatif dan lebih berdampak pada tataran sosial-budaya ketimbang individual.
Menurut Signorielli dan Morgan (1990 dalam Griffin, 2004) analisis kultivasi merupakan tahap lanjutan dari paradigma penelitian tentang efek media, yang sebelumnya dilakukan oleh George Gerbner yaitu ‘cultural indicator’ yang menyelidiki: a) proses institusional dalam produksi isi media, b) image (kesan) isi media, dan c) hubungan antara terpaan pesan televisi dengan keyakinan dan perilaku khalayak.





Teori kultivasi ini di awal perkembangannya lebih memfokuskan kajiannya pada studi televisi dan audience, khususnya pada tema-tema kekerasan di televisi. Tetapi dalam perkembangannya, ia juga bisa digunakan untuk kajian di luar tema kekerasan. Misalnya, seorang mahasiswa Amerika di sebuah universitas pernah mengadakan pengamatan tentang para pecandu opera sabun (heavy soap opera). Mereka, lebih memungkinkan melakukan affairs (menyeleweng), bercerai dan menggugurkan kandungan dari pada mereka yang bukan termasuk kecanduan opera sabun (Dominick, 1990).
Gerbner bersama beberapa rekannya kemudian melanjutkan penelitian media massa tersebut dengan memfokuskan pada dampak media massa dalam kehidupan sehari-hari melalui Cultivation Analysis. Dari analisis tersebut diperoleh berbagai temuan yang menarik dan orisional yang kemudian banyak mengubah keyakinan orang tentang relasi antara televisi dan khalayaknya berikut berbagai efek yang menyertainya. Karena konteks penelitian ini dilakukan dalam kaitan merebaknya acara kekerasan di televisi dan meningkatnya angka kejahatan di masyarakat, maka temuan penelitian ini lebih terkait efek kekerasan di media televisi terhadap persepsi khalayaknya tentang dunia tempat mereka tinggal. Salah satu temuan terpenting adalah bahwa penonton televisi dalam kategori berat (heavy viewers) mengembangkan keyakinan yang berlebihan tentang dunia sebagai tempat yang berbahaya dan menakutkan. Sementara kekerasan yang mereka saksikan ditelevisi menanamkan ketakutan sosial (sosial paranoia) yang membangkitkan pandangan bahwa lingkungan mereka tidak aman dan tidak ada orang yang dapat dipercaya.
Gerbner berpendapat bahwa media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu. Media pun kemudian memelihara dan menyebarkan sikap dan nilai tersebut antar anggota masyarakat, kemudian mengiktannya bersama-sama pula. Media mempengaruhi penonton dan masing-masing penonton itu menyakininya. Jadi, para pecandu televisi itu akan punya kecenderungan sikap yang sama satu sama lain.
  1. Tujuan Penulis
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan dan diharapkan bermanfaat bagi kita .
  1. Metode Penulisan
Penulis mempergunakan metode observasi dan teknologi.Cara-cara yang digunakan pada penelitian ini adalah :
Studi Pustaka
Dalam metode ini penulisan dicari di internet yang berkaitan denga penulisan makalah ini.


BAB II
PEMBAHASAN
      Teori kultivasi (cultivation theory) pertama kali dikenalkan oleh Profesor George Gerbner ketika ia menjadi dekan Annenberg School of Communication di Universitas Pennsylvania Amerika Serikat (AS). Tulisan pertama yang memperkenalkan teori ini adalah “Living with Television: The Violenceprofile”, Journal of Communication. Awalnya, ia melakukan penelitian tentang “Indikator Budaya” dipertengahan tahun 60-an untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Dengan kata lain, ia ingin mengetahui dunia nyata seperti apa yang dibayangkan, dipersepsikan oleh penonton televisi itu?. Itu juga bisa dikatakan bahwa penelitian kultivasi yang dilakukannya lebih menekankan pada “dampak”.
Menurut teori kultivasi ini, televisi menjadi media atau alat utama dimana para penonton televisi itu belajar tentang masyarakat dan kultur dilingkungannya. Dengan kata lain, persepsi apa yang terbangun di benak Anda tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak Anda dengan televisi Anda belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya serta adat kebiasannya.
Teori kultivasi ini di awal perkembangannya lebih memfokuskan kajiannya pada studi televisi dan audience, khususnya memfokuskan pada thema-thema kekerasan di televisi. Tetapi dalam perkembangannya, ia juga bisa digunakan untuk kajian di luar thema kekerasan. Misalnya, seorang mahasiswa Amerika di sebuah Universitas pernah mengadakan pengamatan tentang para pecandu opera sabun (heavy soap opera). Mereka yang tergolong pecandu opera sabun tersebut lebih memungkinkan melakukan affairs (menyeleweng), bercerai dan menggugurkan kandungan dari pada mereka yang bukan termasuk kecanduan opera sabun .
Bahkan dengan memakai kacamata kultivasi, ada perbedaan antara pandangan orang tua dengan remaja tentang suatu permasalahan. Melalui perbedaan kultivasi, orang tua ditampilkan secara negatif di televisi. Bahkan para pecandu televisi (terutama kelompok muda) lebih mempunyai pandangan negatif tentang orang tua dari pada mereka yang bukan termasuk kelompok kecanduan. Mengapa ini semua terjadi? Karena sebelumnya, televisi telah memotret atau selalu menampilkan sisi negatif dari orang tua. Misalnya, bagaimana mereka sering terlihat kolot dalam memahami dan menyelesaikan kasus yang berhubungan dengan anak muda. Seolah, para pecandu televisi ini tidak sadar bahwa televisi punya banyak pengaruh terhadap sikap dan perilaku mereka.
Para pecandu berat televisi (heavy viewers) akan menganggap bahwa apa yang terjadi di televisi itulah dunia senyatanya. Misalnya, tentang perilaku kekerasan yang terjadi di masyarakat. Para pecandu berat televisi ini akan mengatakn sebab utama munculnya kekerasan karena masalah sosial (karena televisi yang dia tonton sering menyuguhkan berita dan kejadian dengan motif sosial sebagai alasan melakukan kekerasan). Padahal bisa jadi sebab utama itu lebih karena faktor cultural shock (keterkejutan budaya) dari tradisonal ke modern. Termasuk misalnya, pecandu berat televisi mengatakan bahwa kemungkinan seseorang menjadi korban kejahatan adalah 1 berbanding 10, padahal dalam kenyataan angkanya adalah 1 berbanding 50. Ia juga mengira bahwa 20 persen dari total penduduk berdiam di Amerika, padahal senyatanya cuma 6 persen. Dengan kata lain, penilaian, persepsi, opini penonton televisi digiring sedemikian rupa agar sesuai dengan apa yang mereka lihat di televisi. Bagi pecandu berat televisi, apa yang terjadi pada televisi itulah yang terjadi pada dunia sesungguhnya.
Program acara sinetron yang diputar televisi swasta Indonesia saat ini nyaris segaram, misalnya Tersanjung, Pernikahan Dini, Kehormatan dan lain-lain. Masing-masing sinetron itu membahas konflik antara orang tua dan anak serta hamil di luar nikah. Para pecandu berat televisi akan mengatakan bahwa di masyarakat sekarang banyak gejala tentang hamil di luar nikah karena televisi lewat sinetronnya banyak atau bahkan selalu menceritakan kasus tersebut. Bisa jadi pendapat itu tidak salah, tetapi ia terlalu menggeneralisir ke semua lapisan masyarakat. Bahwa ada gejala hamil di luar nikah itu benar, tetapi mengatakan bahwa semua gadis sudah hamil di luar nikah itu salah. Para pecandu sinetron itu sangat percaya bahwa apa yang terjadi pada masyarakat itulah seperti yang dicerminkan dalam sinetron-sinetron.
Termasuk di sini konflik antara orang tua dan anak. Benak penonton itu akan mengatakan saat ini semua anak memberontak kepada orang tua tentang perbedaan antara keduanya. Mereka yakin bahwa televisi adalah potret sesungguhnya dunia nyata. Padahal seperti yang bisa dilihat dalam kenyataannya, tidak sedikit anak-anak yang masih hormat atau bahkan selalu mengiyakan apa yang dikatakan orang tua mereka.
Gerbner berpendapat bahwa media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu.
Media pun kemudian memelihara dan menyebarkan sikap dan nilai itu antar anggota masyarakat kemudian mengikatnya bersama-sama pula. Dengan kata lain, media mempengaruhi penonton dan masing-masing penonton itu menyakininya. Jadi, para pecandu televisi itu akan punya kecenderungan sikap yang sama satu sama lain.
Penelitian kultivasi menekankan bahwa media massa sebagai agen sosalisasi dan menyelidiki apakah penonton televisi itu lebih mempercayai apa yang disajikan televisi daripada apa yan mereka lihat sesungguhnya. Gerbner dan kawan-kawannya melihat bahwa film drama yang disajikan di televisi mempunyai sedikit pengaruh tetapi sangat penting di dalam mengubah sikap, kepercayaan, pandangan penonton yang berhubungan dengan lingkungan sosialnya.
Televisi, sebagaimana yang pernah dicermati oleh Gerbner, dianggap sebagai pendominasi “lingkungan simbolik” kita. Sebagaimana McQual dan Windahl (1993) catat pula, teori kultivasi menganggap bahwa televisi tidak hanya disebut sebagai jendela atau refleksi kejadian sehari-hari di sekitar kita, tetapi dunia itu sendiri. Gerbner (meminjam istilah Bandura) juga berpendapat bahwa gambaran tentang adegan kekerasan di televisi lebih merupakan pesan simbolik tentang hukum dan aturan.
Dengan kata lain, perilaku kekerasan yang diperlihatkan di televisi merupakan refleksi kejadian di sekitar kita. Jika adegan kekerasan itu merefleksikan aturan hukum yang tidak bisa mengatasi situasi seperti yang digambarkan dalam adegan televisi, bisa jadi yang sebenarnya terjadi juga begitu. Jadi, kekerasan televisi dianggap sebagai kekerasan yang memang sedang terjadi di dunia ini. Aturan hukum yang bisa digunakan untuk mengatasi perilaku kejahatan yang dipertontonkan di televisi akan dikatakan bahwa seperti itulah hukum kita sekarang ini.

Gerbner membedakan penonton televisi dalam dua kategori, light viewer (penonton ringan) dan heavy viewer (penonton berat). Penonton ringan adalah yang menyaksikan televisi dalam kurun waktu sekitar dua jam tiap harinya. Sedangkan yang dikategorikan sebagai penonton berat adalah yang menonton televisi lebih dari 4 jam tiap harinya. Perbedaan inilah yang akan mempengaruhi viewer behaviour itu sendiri.
Bagi penonton ringan, kecenderungannya adalah hanya menonton tayangan televisi sesuai dengan kebutuhan. Maksudnya, mereka menonton apa yang ingin ditonton saja, dan kalau merasa tidak suka atau tidak perlu dengan suatu acar televisi, maka televisi akan dimatikan. Penonton dalam kategori ini biasanya tidak mudah terpengaruh oleh isi tayangan televisi itu sendiri.Lain lagi dengan penonton dalam kategori penonton berat. Mereka biasanya duduk di depan televisi dalam kurun waktu yang cukup lama, bahkan bisa berjam-jam tanpa peduli apakah tayangan televisi yang mereka saksikan tersebut apakah mereka suka atau mereka perlukan ataukah tidak. Mereka inilah yang biasanya paling mudah terpengaruh oleh isi tayangan televisi.
Dalam contoh tayangan kekerasan tadi, misalkan saja dalam tayangan acara kriminal semacam Buser, Patroli, TKP, Sergap, dan sejenisnya. Saat kita terbiasa atau sering menyaksikan tayangan semacam ini, asumsi yang muncul menurut Gerbner adalah kita cenderung semakin takut atau was-was terhadap dunia di sekitar kita. Kita cenderung menjadi paranoid, takut kalau-kalau diri kita akan mengalami kejahatan atau menjadi korban tindakan kriminal sebagaimana yang sering kita lihat dalam tayangan tadi.
Jika dalam tayangan kriminal tadi diceritakan maraknya kasus penodongan di bus kota, kita biasanya menjadi cukup ketar-ketir ketika hendak naik atau berada di dalam bus kota. Kita menjadi curiga terhadap tiap orang asing yang tidak kenal dalam bus tersebut. Atau jangan-jangan pengamen yang ada di bus itu adalah seorang penjahat yang siap-siap mencari kesempatan untuk menodong, dan seterusnya. Heavy viewers lebih memiliki kesempatan untuk menjadi paranoid semacam ini.
Dalam penelitiannya tentang cultivation differences, Gerbner mengamati tentang empat perilaku pentonton televisi, dalam kaitannya dengan isu tayangan kekerasan tadi.
Pertama, tentang kemungkinan keterlibatan dalam tindakan kekerasan. Survei yang dilakukan menunjukkan bahwa bagi penonton ringan, mereka hanya merasa memiliki kemungkinan 1: 100 bahwa mereka akan menjadi korban tindak kekerasan atau kriminal. Sedangkan bagi penonton berat kemungkinannya adalah 1: 10. padahal angka yang realistis berdasarkan indeks kekerasan atau indeks kriminalitas adalah hanya pada angka 1: 10.000. Jadi, bagi pentonton berat, mereka merasa lebih mungkin untuk menjadi korban tindak kekerasan atau kriminalitas daripada kemungkinan yang sebenarnya. Di sisi yang lain, anak-anak yang terbiasa menyaksikan tayangan kekerasan memiliki asumsi bahwa “tidak apa-apa jika memukul orang lain jika kita marah atau tidak suka terhadap orang tersebut.”
Kedua, takut untuk berjalan sendirian ketika malam hari. Wanita umumnya lebih takut untuk berjalan sendirian malam-malam daripada laki-laki. Akan tetapi menurut Gerbner ini lebih berhubungan dengan seberapa sering mereka menghabiskan waktu di depan televisi. Penonton berat diasumsikan lebih menganggap berlebihan terhadap peristiwa kriminalitas, dan menganggapnya sepuluh kali lebih parah atau lebih seram daripada kenyataannya. Padahal pada kenyataannya, lebih banyak orang yang terluka atau terbunuh di jalanan karena tertabrak kendaraan daripada akibat tindakan kejahatan.
Ketiga, dalam melihat aktivitas polisi. Bagi pentonton berat, mereka berasumsi bahwa 5 persen masyarakt kita pernah berurusan dengan polisi atau aparat. Sedangkan pentonton ringan hanya bersumsi 1 persen saja. Dunia dalam benak penonton berat banyak dipenuhi oleh gambaran tentang polisi, penjahat, tindakan kejahatan, dan bahwa lingkungan mereka tidak aman. Bahwa polisi selalu menodongkan senjata setiap saat.
Keempat, ketidakpercayaan terhadap orang lain. Penonton berat biasanya memiliki bawaan selalu curiga kepada orang lain, terutama orang yang asing.
Gerbner selanjutnya menjelaskan bahwa kultivasi berperan melalui dua jalan, yaitu mainstreaming dan resonance.
Mainstreaming menurut Grebner adalah proses “blurring, blending, and bending” yang mana merasuk ke dalam diri penonton berat. Menurut Gerbner, melalui terpaan yang konstan dalam tayangannya, televisi berhasil menciptakan commonality (kesamaan atau keumuman). Televisi menjadikan penontonnya bersifat homogen, yang pada nantinya menjadikan penonton (berat) merasa mereka berbagi nilai, orientasi, perspektif, dengan orang yang lain.Apa-apa yang hadir di layar televisi menciptakan suatu yang bersifat umum, dan menjadikannya sebagai semacam pengalaman bersama. Sehingga bagi penontonnya, televisi menjadi rujukan bersama terhadap pengalaman, keyakinan, dan nilai-nilai. Televisi menjadi ibarat ‘tempat berbagi pengalaman.’
Resonance. Menurut Gerbner, penonton yang konsisten menonton tayangan televisi lebih mungkin merasakan resonance (resonansi). Pada dasarnya setiap orang pernah mengalamai atau menjadi saksi mata atas suatu tindakan kekerasan atau peristiwa kriminal, entah itu perampokan, penodongan, penjambretan, atau bahkan orang berkelahi. Mereka ini kemudian mengalami traumatik, walaupun tidak parah. Akan tetapi, televisi kemudian berperan dalam penggambaran kembali pengalaman tersebut di dalam tayangannya. Televisi menjadi semacam resonansi atau pengulangan terhadap pengalaman nyata di kehidupan si penonton tadi. Semakin sering orang tersebut menonton tayangan kekerasan maka akan semakin sering resonansi tadi dialami olehnya. Sehingga konsekuensinya kenangan atau pengalaman pertama terhadap peristiwa kekerasan atau kriminal di dunia nyata yang dulu pernah dialaminya, menjadi semakin dan terus terasa atau teringat-ingat.
Hipotesis yang diajukan oleh Gerbner dalam teori kultivasi ini adalah bahwa semakin sering masyarakat menonton televisi pada akhirnya akan menjadikan dunia ini terasa semakin menyeramkan.
Asumsi/Esensi Teori
Secara keilmuan untuk menunjukan bahwa televisi sebagai media yang mempengaruhi pandangan kita terhadap realitas sosial, para peneliti cultivation analysis bergantung kepada empat tahap proses:
1. Message system analysis yang menganalisis isi program televisi.
2. Formulation of question about viewers’ sosial realities yaitu pertanyaan yang berkaitan dengan seputar realitas sosial penonton televisi.
3. Survey the audience yaitu menanyakan kepada mereka seputar apa yang mereka konsumsi dari media, dan.
4. Membandingkan realitas sosial antara penonton berat dan orang yang jarang menonton televisi.
Keempat tahap ini dapat disederhanakan menjadi dua jenis analisis:
1. Analisis isi (content analysis), yang mengidentifikasikan atau menentukan tema-tema utama yang disajikan oleh televisi.
2. Analisis khalayak (audience research), yang mencoba melihat pengaruh tema-tema tersebut pada penonton.
Langkah utama untuk menguji teori kultivasi dalam studi awal adalah menentukan kandung isi televisi melalui analisis isi. Gerbner dan kawan-kawan mulai memetakan kandungan isi pada prime time dan program televisi bagi anak-anak diakhir pekan (weekend).
Di antara berbagai teori dampak media jangka panjang, cultivation analysis merupakan teori yang menonjol. Gerbner menyatakan bahwa televisi sebagai salah satu media modern, telah memperoleh tempat sedemikian rupa dan sedemikian penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, sehingga mendominasi “lingkungan simbolik” kita dengan cara menggantikan pesannya tentang realitas bagi pengalaman pribadi dan sarana mengetahui dunia lainnya.
Teori kultivasi melihat media massa sebagai agenda sosialisasi, dan menemukan bahwa penonton televisi dapat mempercayai apa yang ditampilkan oleh televisi berdasarkan seberapa banyak mereka menontonnya. Berdasarkan banyaknnya waktu yang dihabiskan untuk menonton, maka penonton televisi dikelompokkan dalam dua kategori yakni light viewer (penonton ringan dalam arti menonton rata-rata dua jam perhari atau kurang dan hanya tayangan tertentu) dan heavy viewer (penonton berat), menonton rata-rata empat jam perhari atau lebih dan tidak hanya tayangan tertentu (Infante, et.al, 2003).
Asumsi dasar teori ini adalah:
1. Televisi merupakan media yang unik.
Asumsi pertama menyatakan bahwa televisi merupakan media yang unik. Keunikan tersebut ditandai oleh karakteristik televisi yang bersifat:
a. Pervasive (menyebar dan hampir dimiliki seluruh keluarga);
b. Assesible (dapat diakses tanpa memerlukan kemampuan literasi atau keahlian lain), dan
c. Coherent (mempersentasikan pesan dengan dasar yang sama tentang masyarakat melintasi program dan waktu).
2. Semakin banyak seseorang menghabiskan waktu untuk menonton televisi, semakin kuat kecenderungan orang tersebut menyamakan realitas televisi dengan realitas sosial.
Jadi menurut asumsi ini, dunia nyata (real world) di sekitar penonton dipersamakan dengan dunia rekaan yang disajikan media tersebut (symbolic world). Dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa penonton mempersepsi apapun yang disajikan televisi sebagai kenyataan sebenarnya. Namun teori ini tidak menggeneralisasi pengaruh tersebut berlaku untuk semua penonton, melainkan lebih cenderung pada penonton dalam kategori heavy viewer (penonton berat).
Hasil pengamatan dan pengumpulan data yang dilakukan oleh Gerbner dan kawan-kawan bahkan kemudian menyatakan bahwa heavy viewer mempersepsi dunia ini sebagai tempat yang lebih kejam dan menakutkan (the mean and scray world) ketimbang kenyataan sebenarnya. Fenomena inilah yang kemudian dikenal sebagai “the mean world syndrome” (sindrom dunia kejam) yang merupakan sebentuk keyakinan bahwa dunia sebuah tempat yang berbahaya, sebuah tempat di mana sulit ditemukan orang yang dapat dipercaya, sebuah tempat di mana banyak orang di sekeliling kita yang dapat membahayakan diri kita sendiri. Untuk itu orang harus berhati-hati menjaga diri. Pembedaan dan pembandingan antara heavy dan light viewer di sini dipengaruhi pula oleh latar belakang demografis di antara mereka.


3. Penonton ringan (light viewers) cenderung menggunakan jenis media dan sumber informasi yang lebih bervariasi (baik komunikasi bermedia maupun sumber personal), semantara penonton berat (heavy viewers) cenderung mengandalkan televisi sebagai sumber informasi mereka.
Asumsi ini menyatakan, kelompok penonton yang termasuk kategori berat, umumnya memiliki akses dan kepemilikan media yang lebih terbatas. Karena itu mereka mengandalkan televisi sebagai sumber informasi dan hiburan mereka. Karena keterpakuan pada satu media ini, membuat keragaman dan alternatif informasi yang mereka miliki menjadi terbatas. Itulah sebabnya kemudian mereka membentuk gambaran tentang dunia dalam pikirannya sebagaimana yang digambarkan televisi. Sebaliknya kelompk light viewers memiliki akses media yang lebih luas, sehingga sumber informasi mereka menjadi lebih variatif. Karena kenyataan ini, maka pengaruh televisi tidak cukup kuat pada diri mereka.
Menurut teori ini, nontonnya (behavior effect). Pengaruh tersebut tidak muncul seketika media massa khususnya televisi diyakini memiliki pengaruh yang besar atas sikap dan perilaku pemelainkan bersifat kumulatif dan tidak langsung. Inilah yang membedakan teori ini dengan The Hypodermic Needle Theory, atau sering juga disebut The Magic Bullet Theory, Agenda Setting Theory, Spiral Of Silence Theory. Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa pengaruh yang muncul pada diri penonton merupakan tahap lanjut setelah media itu terlebih dahulu mengubah dan membentuk keyakinan-keyakinan tertentu pada diri mereka melalui berbabagai acara yang ditayangkan. Satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa teori ini lebih cenderung berbicara pengaruh televisi pada tingkat komunitas atau masyarakat secara keseluruhan dan bukan pada tingkat individual.
Secara implisit teori ini juga berpendapat bahwa pemirsa televisi bersifat heterogen dan terdiri dari individu-individu yang pasif yang tidak berinteraksi satu sama lain. Namun mereka memiliki pandangan yang sama terhadap realitas yang diciptakan media tersebut.

4. Terpaan pesan televisi yang terus menerus menyebabkan pesan tersebut diterima khalayak sebagai pandangan konsensus masyarakat.
Asumsi keempat toeri ini menyatakan bahwa terpaan televisi yang intens dengan frekuensi yang kerap dan terus menerus membuat apa yang ada dalam pikiran penonton televisi sebangun dengan apa yang disajikan televisi. Karena alasan ini kemudian mereka menganggap bahwa apapun yang muncul di televisi sebagai gambaran kehidupan sebenarnya, gambaran kehidupan yang disepakati secara konsensual masyarakat. Dalam konteks ini berarti, bila penonton melihat orang sumpah pocong di televisi, atau melihat adegan ciuman di antara dua orang yang masih pacaran dalam sebuah sinetron maka penonton tersebut menganggap hal itu sesuatu hal yang lumrah saja yang menganggap kehidupan nyata di lingkungannya.

5. Televisi membentuk mainstreaming dan resonance.
Asumsi kelima ini menegaskan bahwa televisi membentuk mainstreaming dan resonace. Gerbner dan kawan-kawan memperkenalkan faktor-faktor mainstreaming dan resonance (Gerbner, Gross, Morgan dan Signorielli, 1980 dalam Griffin, 2004). Mainstreaming diartikan sebagai kemampuan memantapkan dan menyeragamkan berbagai pandangan di masyarakat tentang dunia di sekitar mereka (Tv stabilize and homogenize views within a society). Dalam proses ini televisi pertama kali akan mengaburkan (bluring), kemudian membaurkan (blending) dan melenturkan (bending) perbedaan realitas yang beragam menjadi pandangan mainstream tersebut. Sedangkan resonance mengimplikasikan pengaruh pesan media dalam persepsi realita dikuatkan ketika apa yang dilihat orang di televisi adalah apa yang mereka lihat dalam kehidupan nyata.

6. Perkembangan teknologi baru memperkuat pengaruh televisi.
Asumsi terakhir menyatakan bahwa perkembangan teknologi baru memperkuat pengaruh televisi. Asumsi ini diajukan Gerbner pada tahun 1990 setelah menyaksikan perkembangan teknologi komunikasi yang luar biasa. Asumsi ini mengandung keyakinan bahwa teknologi pendukung tidak akan mengurangi dampak televisi sebagai sebuah media, malahan pada kanyataannya akan meneguhkan dan memperkuat.
Bukti utama asumsi cultivation analysis berasal dari analisis isi pesan televisi Amerika secara sistematis. Analisis itu dilakukan selama beberapa tahun dan menunjukan distorsi realitas yang konsisten dalam hubungannya dengan keluarga, pekerjaan dan peran, usia lanjut, mati dan kematian, pendidikan, kekerasan dan kejahatan. Isu ini memberikan pelajaran tentang hal-hal yang diharapkan dari kehidupan bukanlah pesan yang membesarkan hati, khususnya bagi si miskin, kaum wanita dan minoritas rasial .
Jadi, meskipun televisi bukanlah satu-satunya sarana yang membentuk pandangan kita tentang dunia, televisi merupakan salah satu media yang paling ampuh, terutama bila kontak dengan televisi yang sangat sering dan berlangsung dalam waktu lama .
Aplikasi Teori
Teori kultivasi sering digunakan untuk menganalisis berbagai bentuk praktik komunikasi, terutama komunikasi massa khususnya televise apa yang kita kenal cultivation analysis. Berikut beberapa contoh aplikasi teori kultivasi:
Nancy Signorielli (Littlejohn, 1996) melaporkan studi tentang sindrom dunia kejam. Pada aksi kekerasan di program televisi bagi anak, lebih dari 2000 program termasuk 6000 karakter utama selama prime time dan akhir pekan (weekend) dari tahun 1967-1985, menganalisis dengan hasil yang menarik, 70% prime time dan 94% akhir pekan (weekend) termasuk aksi kekerasan. Analisis ini membuktikan heavy viewers memandang dunia muram dan kejam dibandingkan dengan orang yang jarang menonton televisi. Tidak salah jika kemudian Gerbner dan kawan-kawan melaporkan bahwa heavy viewers melihat dunia lebih kejam dan menakutkan seperti yang ditampilkan televisi dari pada orang-orang yang jarang menonton.
Contoh yang lain, para pecandu berat televisi (heavy viewers) akan menganggap bahwa apa yang terjadi di televisi itulah dunia senyatanya. Misalnya, tentang perilaku kekerasan yang terjadi di masyarakat. Para pecandu berat televisi akan mengatakan sebab utama munculnya kekerasan karena masalah sosial (karena televisi yang ditonton sering menyuguhkan berita dan kejadian dengan motif sosial sebagai alasan melakukan kekerasan). Pada hal bisa jadi sebab utama itu lebih karena keterkejutan budaya (cultural shock) dari tradisional ke kehidupan modern. Teori kultivasi berpendapat bahwa pecandu berat televisi membentuk suatu realitas yang tidak konsisten dengan kenyataan. Sebagai contoh pencandu berat televisi menyatakan bahwa kemungkinan seseorang menjadi korban kejahatan adalah 1 berbading 10. Dalam kenyataan angkanya adalah 1 berbanding 50. Pecandu berat televisi mengira bahwa 20% dari total penduduk dunia berdiam diri di Amerika. Kenyataannya hanya 6%. Pecandu berat percaya bahwa persentase karyawan dalam posisi manajerial atau professional adalah 25%. Kenyataannya hanya 5% ,Bagi pecandu berat televisi, apa yang terjadi pada televisi itulah yang terjadi pada dunia sesungguhnya.
Negara kita pada tiga tahun terakhir ini, program acara sinetron yang diputar televisi swasta Indonesia nyaris seragam. Misalnya Tersanjung, Pernikahan Dini, Kehormatan, dan lain-lain. Masing-masing sinetron tersebut membahas konflik antar orang tua dan anak serta hamil di luar nikah. Para pecandu berat televisi akan mengatakan bahwa di masyarakat sekarang banyak gejala hamil di luar nikah, karena televisi lewat sinetronnya banyak atau bahkan selalu menceritakan kasus tersebut. Bisa jadi pendapat tersebut tidak salah, tetapi itu terlalu menggeneralisasi kesemua lapisan masyarakat. Bahwa ada gejala hamil di luar nikah itu benar, tetapi mengatakan bahwa semua gadis hamil di luar nikah itu salah. Para pencandu sinetron itu sangat percaya bahwa apa yang terjadi pada masyarakat, itulah seperti yang dicerminkan dalam sinetron-sinetron.
Termasuk di sini konflik antara orang tua dan anak. Kognisi penonton akan mengatakan saat ini semua anak memberontak kepada orang tua tentang perbedaan antara keduannya, seperti
“orang tua kuno, ketinggalan zaman.” Mereka yakin bahwa televisi adalah potret sesungguhnya dunia nyata. Padahal seperti yang bisa dilihat, tidak sedikit anak-anak yang masih hormat atau bahkan masih mengiyakan apa yang dikatakan orang tua mereka.
Pada kateori aplikasi teori kultivasi dalam kaca mata kekerasan, Gerbner juga berpendapat bahwa gambaran tentang adegan kekerasan di televisi lebih merupakan pesan simbolik tentang hukum dan aturan, alih-alih perilaku kekerasan yang diperlihatkan di televisi merupakan refleksi kejadian di sekitar kita. Jika adegan kekerasan itu merefleksikan aturan hukum yang tidak bisa mengatasi situasi, seperti yang digambarkan dalam adegan televisi, bisa jadi yang terjadi sebenarnya juga demikian. Jadi, kekerasan yang ditayangkan di televisi dianggap sebagai kekerasan yang memang sedang terjadi di dunia ini. Aturan hukum yang biasa digunakan untuk mengatasi perilaku kejahatan yang dipertontonkan di televisi akan dikatakan bahwa seperti itulah hukum kita sekarang ini.
Jika kita menonton acara seperti Buser (SCTV), Patroli (Indosiar), Sergap (RCTI), Brutal (Lativi) dan TKP malam (TV7), akan terlihat beberapa perilaku kejahatan yang dilakukan masyarakat. Dalam acara tersebut tidak sedikit kejahatan yang bisa diungkap. Dalam pandangan kultivasi dikatakan adegan kekerasaan yang disajikan oleh televisi tersebut menggambarkan dunia kita yang sebenarnya. Para pecandu berat televisi akan beranggapan bahwa harus hati-hati keluar rumah karena kejahatan sudah mengincar kita, dan setiap orang tidak bisa dipercaya, boleh jadi kita akan menjadi korban selanjutnya dari kejahatan. Apa yang ditayangkan televisi tersebut dianggap bahwa di Indonesia kejahatan itu sudah sedemikian mewabah dan kuantitasnya semakin meningkat dari waktu ke waktu. Ini menggambarkan bagaimana dunia kejahatan yang ada di Indonesia.
Contoh lain sinetron yang lagi merebak sekarang di berbagai stasiun televisi kita, antara lain sinetron Rahasia ilahi yang hampir ditanyangkan oleh semua televisi swasta. Para pecandu berat televisi (heavy viewers) akan menganggap bahwa apa yang terjadi di televisi itulah dunia realitas. Mereka beranggapan bahwa tuhan Islam itu kejam, pendendam, tukang siksa dan sebagainya. Seperti itulah anggapan orang terhadap tuhan Islam. Pada hal tuhan Islam (Allah SWT) yang sebenarnya adalah Zat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang tidak seperti yang tergambarkan pada beberapa adegan pada sinetron Rahasia Ilahi.
Demikian sekelumit contoh-contoh aplikasi teori kultivasi. Teori kultivasi sebenarnya menawarkan kasus yang sangat masuk akal, khususnya dalam tekannya pada kepentingan televisi sebagai media dan fungsi simbolik di dalam konteks budaya. Akan tetapi, teori ini tidak lepas dari sasaran kritik. Gerbner telah dikritik karena terlalu menyederhanakan permasalahan. Perilaku kita boleh jadi tidak hanya dipengaruhi oleh televisi, tetapi oleh banyak media yang lain, pengalaman langsung, orang lain yang berhubungan dengan kita dan sebagainya.
Walhasil, walau banyak kritik terhadap teori ini, namun demikian dalam kenyataannya teori ini memang dapat kita lihat pada masyarakat, terutama pada anak-anak. Anak sebagai penonton, masih mudah dipangaruhi oleh pesan-pesan yang disajikan televisi.
BAB III
PENUTUP


KESIMPULAN
George Gerbner menyatakan bahwa penggemar berat televisi (TV) sebenarnya membangun kepercayaan yang terlalu berlebihan pada a mean and scary world. Kekerasan yang mereka lihat di TV dapat menanamkan sebuah social paranoia yang berlawanan dengan pemikiran tentang lingkungan yang aman dan keberadaan orang-orang yang dapat dipercaya. Gerbner melihat TV sebagai kekuatan dominan dalam membentuk masyarakat modern. Dan ia yakin bahwa kekuatan TV terletak pada symbolic content dari real-life drama yang ditampilkannya setiap saat. Setelah broadcast berkembang, TV mendominasi lingkungan symbols, yang menceritakan sebagian besar cerita pada masyarakat dengan durasi waktu terbanyak.
Menurut Gerbner, yang disaksikan penonton TV setiap harinya adalah unsur kekerasan (violence). Ia menyatakan bahwa kekerasan adalah cara dramatic termudah dan termurah untuk menunjukkan siapa yang menang dalam permainan hidup. Dan ia sangat khawatir pada dampak yang lebih luas dan secara potensial, dapat merugikan, yaitu bahwa kekerasan TV meyakinkan penonton bahwa benar-benar ada “a jungle out there ” (rasa tidak aman yang besar).
Intinya, Gerbner membahas hubungan antara media komunikasi dengan kekerasan.
Indeks Kekerasan
Untuk mengukur tingkat kekerasan yang ditampilkan TV, Gerbner menggariskan aturan-aturan sebagai tuntunan pelaksanaannya. Yang pertama, ia menetapkan definisi dramatic violence sebagai ‘ekspresi yang merupakan tindakan dengan maksud buruk lewat kekuatan fisik (dengan atau tanpa senjata, melawan diri sendiri atau orang lain) tindakan memaksa untuk melawan keinginan orang lain dengan menimbulkan rasa sakit dan atau terbunuh atau diperlakukan sangat victimized sebagai bagian dari rencana’. Setelah itu, ia mengukur level kekerasan secara keseluruhan. Hasilnya, indeks tahunan yang ditemukan tentang level kekerasan, sungguh stabil.
Kekerasan yang Sama; Resiko yang Berbeda
Dari sekian banyak acara TV yang menampilkan gambaran kekerasan, karakter-karakter kepahlawanan kebanyakan menampilkan inequality yang besar terhadap usia, ras, dan gender pada saat menerima kekerasan terakhir. Orangtua dan anak-anak lebih banyak disakiti atau dirugikan daripada remaja dan orang dewasa. Dalam kasus ‘victimage’, keturunan Afrika-Amerika dan Hispanic dibunuh atau dipukuli lebih banyak daripada keturunan Caucasian. Orang kulit hitam digambarkan sebagai orang yang kasar dan cenderung menggunakan kekerasan. Sangat mengejutkan ketika TV menampilkan underrepresentation akan kelompok minoritas.
Kesimpulannya, proyek Cultural Indicator yang dibuat Gerbner mengungkapkan bahwa orang-orang yang terpinggirkan dalam masyarakat Amerika diposisikan dalam a symbolic double jeopardy (bahaya simbolik ganda). Keberadaan mereka dikecilkan, dan di saat yang sama, kerawanan mereka terhadap kekerasan, dilebih-lebihkan.
Membangun Profil Viewer
Gerbner melakukan survey tentang behavior dan attitudes penonton TV. Ada dua kategori pemirsa TV menurutnya, yaitu penonton yang “light” dan “heavy”. Light user adalah penonton yang menonton TV tak lebih dari 2 jam sehari. Light user selektif dalam memilih acara TV yang mereka tonton. Serignkali hanya acara favoritnya saja. Sedangkan heavy user adalah penonton yang menonton TV minimal 4 jam sehari dan menonton TV secara terus-menerus. Menurut Gerbner, heavy user melihat dunia lebih berbahaya daripada occasional atau light user.

Pikiran yang Dibajak atau Dibentuk oleh Televisi Menumbuhkan Fearful Thoughts
Karena Gerbner percaya bahwa kekerasan adalah tulang punggung dari drama TV, dan karena setiap orang memiliki durasi waktu yang berbeda dalam menonton TV, Gerbner mencoba menemukan the cultivation differential. Yaitu perbedaan dalam persentase memberikan “television answer” dalam perbandingan kelompok light dan heavy viewers. Menurut Gerbner, TV telah masuk dalam kehidupan manusia ketika dalam usia yang sangat dini. Ia melihat 4 hal dalam surveynya, yaitu:


Chances of involvement with violence. Heavy user diprediksikan terlibat dalam violence lebih sering daripada light user. prediksi ini bergantung pada keinginan yang hebat dari para heavy user untuk membenarkan agresi fisik. Kenyataannya, anak-anak yang sering menonton TV setuju bahwa kita boleh memukul orang lain jika kita marah terhadap mereka dengan alasan yang bagus. Fear of walking alone at night. Heavy users cenderung melebih-lebihkan (overestimate) aktivitas kriminal, dan percaya bahwa aktivitas kriminal ini sepuluh kali lebih buruk daripada yang sebenarnya terjadi. Perceived activity of police. Heavy viewers percaya bahwa 5 persen masyarakat terlibat dalam law enforcement. General mistrust of people. Heavy viewers mencurigai motif-motif tindakan orang lain. mereka akan berkata, ‘lakukan suatu hal terhadap orang lain sebelum mereka melakukan hal itu terhadapmu’. Mereka hidup dalam kecurigaan dan tidak pernah bisa mempercayai orang lain.
Mainstreaming
Mainstreaming digunakan Gerbner untuk menggambarkan proses ‘mengaburkan, mencampur, dan membelokkan’, yang dialami heavy viewers. TV membangun a commonality of outlook. TV menghomogenisasi penontonnya supaya heavy viewers memiliki kesamaan orientasi, perspektif, dan makna satu sama lain. Menurut Gerbener, television answer adalah the mainstream.
TV mengaburkan perbedaan politik dan ekonomi. Misalnya, presiden SBY ketika dulu berkampanye lewat AFI Indosiar, penonton melihat itu sebagai hiburan dan kepentingan ekonomi Indosiar. Padahal itu adalah kampanye politik utnuk memperebutkan kekuasaan.
Heavy viewers menganggap dirinya sebagai politikus moderat. Sebagian besar tokoh dalam drama TV tidak menyukai aliran ekstrim, kanan maupun kiri. Namun perilaku mereka, menurut Cultural Indicator, adalah konservatif. Maka the mainstream bukanlah middle of the road.
PENUTUP
Demikian sekilas beberapa contoh aplikasi teori kultivasi. Teori kultivasi sebenarnya menawarkan kasus yang sangat masuk akal, khususnya dalam tekannya pada kepentingan Televisi sebagai media dan fungsi simbolik di dalam konteks budaya. Akan tetapi, teori ini tidak lepas dari sasaran kritik. Gerbner telah dikritik karena terlalu menyederhanakan permasalahan. Perilaku kita boleh jadi tidak hanya dipengaruhi oleh televisi, tetapi oleh banyak media yang lain, pengalaman langsung, orang lain yang berhubungan dengan kita dan sebagainya. Sehingga walau banyak kritik terhadap teori ini, namun demikian dalam kenyataannya teori ini memang dapat kita lihat pada masyarakat, terutama pada anak-anak. Anak sebagai penonton, masih mudah dipangaruhi oleh pesan-pesan yang disajikan televisi.
DAFTAR PUSTAKA

Nurudin, Komunikasi Massa, Yogyakarta.2004
Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, Rajawali Pers, Jakarta, 2007.
Bahan ajar mata kuliah Media Masa dan Kejahatan
Griffin, Emory A., A First Look at Communication Theory, 5th edition, New York: McGraw-Hill, 2003, p.380—389

Posting Komentar

1 Komentar